Pernahkah kamu mendengar istilah bahwa seorang introvert pada dasarnya tidak suka jadi pusat perhatian?
Jika belum pernah mungkin kamu bukanlah salah satu di antaranya: introvert. Namun bagi orang-orang berkepribadian introvert tentu mereka pernah mendengar istilah tersebut, bahkan malah merasakannya. Jadi jangan heran jika mayoritasnya akan menjawab dengan kata 'iya' dan 'benar'. Begitu juga dengan saya. Tapi bagaimana jadinya jika seorang introvert yang tidak suka jadi pusat perhatian itu berprofesi menjadi guru?
Menjadi guru: artinya mesti tahan akan keramaian kelas yang diisi oleh puluhan siswa.
Menjadi guru: artinya tidak punya waktu menyendiri saat bekerja.
Menjadi guru: artinya harus mampu menjadi sorotan di hadapan banyak orang di lingkungan sekolah.
Menjadi guru: artinya harus lebih banyak bicara daripada mendengarkan.
Menjadi guru: artinya untuk berkomunikasi secara lisan lebih banyak porsinya dibandingkan lewat tulisan.
Menjadi guru artinya ... menjadi introvert yang mesti tahan akan keramaian, bekerja dengan banyak orang dan tidak sendirian, mampu menjadi sorotan, mesti lebih banyak berbicara daripada mendengarkan, dan mesti sering berkomunikasi secara lisan. Benar tidak? Tapi bagaimana caranya seorang introvert dapat bertahan dalam situasi demikian? Bukankah ini artinya mereka bertahan untuk menjadi sesuatu yang pada dasarnya 'bukan' mereka?
Banyak artikel yang bahkan menyatakan bahwa guru sesungguhnya adalah pekerjaan yang ideal bagi para ekstrovert, bukan sebaliknya. Sebab bukankah lima hal di atas sangat berkaitan dengan dunia mereka? Tidak diragukan lagi bukan? Dari banyak artikel dan opini mengenai pekerjaan yang ideal bagi introvert agaknya mayoritas memilih pekerjaan yang jarang berinteraksi dengan banyak orang dan jauh dari kebisingan serta keramaian. Sebut saja akuntan, pustakawan, penulis, ilmuwan, dan setumpuk daftar lainnya yang tidak jauh-jauh dari kebiasaan mereka.
Jadi, saat para introvert memilih untuk menjadi guru apakah ada yang salah pada mereka?
Apakah ada yang salah dengan saya?
Memilih 'Tuk Jadi Seorang Guru
Saat memilih jurusan keguruan di universitas sesungguhnya saya belum terlalu memikirkan tentang lima konsekuensi yang akan saya hadapi tersebut. Tentu ada banyak alasan yang mendorong diri untuk memilih jurusan keguruan namun entah mengapa saat memilihnya poin-poin yang jadi kelemahan bagi introvert tersebut bahkan tidak satu pun melintas dalam pikiran. Tapi kemudian setelah dua tahun berlalu dan mata kuliah yang berhubungan dengan praktik pun mulai berdatangan ... akhirnya saya tersadar akan sesuatu: bagaimana ini?
Di kampus saya, mata kuliah yang berhubungan dengan praktik pada awalnya hanya dilakukan di dalam kelas saya, dengan teman-teman seangkatan yang berpura-pura sebagai siswa dan dosen sebagai pengamatnya. Tapi, jujur rasanya canggung. Mengajar di hadapan teman-teman, menjadi pusat perhatian di tengah keramaian bukanlah hal yang menyenangkan bagi saya: seorang introvert. Sejak itu mata kuliah yang berhubungan dengan praktik pun selalu jadi momok, terutama saat dijadikan bahan pertimbangan untuk UAS. Jika saja bukan untuk UAS mungkin saya jadi orang terakhir yang akan mengajukan diri untuk menunjukkan kebolehan mengajar di ruang kelas. Yah, agak pesimis memang, bahkan walaupun dosen telah menyatakan bahwa kemampuan mengajar saya dimata kuliah itu jadi yang terbaik di antara teman-teman lainnya. Meski bahagia tapi tetap saja saya berpikir: apakah pilihan saya ini tepat. Apakah saya cocok untuk jadi seorang guru?
Kenapa Akhirnya Menyatu
Waktu berlalu, sekian banyak praktik mengajar terlewati saya pun akhirnya lega. Setelah semester enam tidak ada lagi praktik di kelas yang ujung-ujungnya membuat jantung berpacu jauh lebih laju. Tapi ... memangnya kuliah berakhirnya di semester enam? Tentu saja tidak. Malah pada masa libur menuju semester tujuh ada satu mata kuliah lagi yang membuat kami—para mahasiswa keguruan—turun untuk mengajar lagi. Sebut saja Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang mewajibkan para mahasiswa untuk turun ke desa-desa demi menerapkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari selama kuliah. Otomatis untuk para mahasiswa keguruan tentu ilmu mengajarnya yang akan diterapkan. Jadilah kami turun ke sekolah-sekolah, sesuai bidangnya dan kemudian izin untuk praktik di sana. Berhubung jurusan saya PGSD, tentu saja saya turun ke SD untuk mulai mengajar. Iya, mengajar.
Sekali lagi: meng-ajar.
Coba ingatkan lagi saya pada praktik mengajar di kelas yang rasanya luar biasa canggung. Ini malah langsung mengajar siswa. Iya, siswa sungguhan. Bukan lagi teman seangkatan yang meraung-raung dan membuat keributan seolah-olah mereka adalah siswa SD sungguhan. Jadi ... ini mesti bagaimana?
Mestikah saya pura-pura jadi anak kedokteran?
Kok kelihatannya malah mustahil.
Satu-satunya jalan hanyalah ... dengan menghadapinya. Maka mau tidak mau saya mesti berani dan unjuk gigi, sebab apalah arti ilmu dan teori tanpa aplikasi. Jadi di sanalah saya, di sebuah desa ... melangkah dalam balutan baju batik dan rok span menuju kelas tujuan. Takut tapi mesti terlihat tenang.
Dan ... ujung-ujungnya saya pun keluar dari kelas dengan senyuman, hati yang tentram dan langkah yang ringan.
Bercanda?
Tentu tidak.
Memang sesungguhnya ada seribu skenario tidak mengenakkan yang ada di kepala sebelum saya melangkah ke sekolah. Tapi siapa sangka ketika berada di dalam kelas saya justru jadi orang yang jauh berbeda. Jika para introvert biasanya terlihat tenang dan kalem entah bagaimana caranya di dalam kelas saya jadi ceria dan begitu antusias dengan mereka: para siswa. Menjadi pusat perhatian di dalam kelas rasanya malah menyenangkan dan tidak membuat canggung. Beda jauh dengan yang terjadi di kampus. Berbicara banyak pada siswa yang tak kalah banyaknya juga tidak mustahil. Malah terkadang saya bingung: apa ini sungguhan?
Sejak perasaan itu muncul hari-hari mengajar di desa selalu jadi favorit saya. Sebab setelah kelas usai saya selalu merasa bahagia. Saya bahagia telah masuk ke kelas itu—kelas lima—ataupun kelas lainnya. Yang manapun bukan masalah. Intinya saya bahagia hanya dengan mengajar. Yep, akhirnya saya jadi mahasiswa keguruan sungguhan, yang benar-benar mengajar di kelas sungguhan pula. Bahagia? Pasti.
Tapi mengajar di desa tentu tidak selamanya. Setelah dua bulan akhirnya saya kembali lagi ke lingkungan kampus dan mesti mempersiapkan diri untuk mata kuliah yang konon lebih serius, namanya Program Pengalaman Lapangan alias PPL. Singkat cerita PPL adalah kegiatan praktik mengajar di sekolah yang letaknya ada di kota, dalam jangka waktu tiga bulan, dan diselingi dengan beberapa ujian mengajar yang dinilai langsung oleh guru pamong dan dosen. Terbayang bukan betapa seriusnya? Jika saat KKN saya hanya masuk kelas sekali dua kali dalam seminggu. Untuk PPL ini saya mesti datang setiap hari layaknya guru sungguhan. Bukan hanya itu, seragam yang digunakan pun mengikuti sekolah yang ditentukan, bahkan juga ada piket untuk hari-hari tertentu. Katakan saja kami bertindak seperti guru asli di sana, meski nyatanya kami hanyalah guru praktik alias magang.
Jadi ... bagaimana rasanya jadi guru praktik yang jadwalnya tidak seringan dimasa KKN?
Apakah jauh lebih sulit karena saya introvert?
Ah ... tidak juga. Memang siswa di kota jauh lebih berisik dan ramai dibandingkan anak-anak di desa. Memang kini bersosialisasi dengan banyak orang di lingkungan sekolahan jadi santapan harian. Memang tidak banyak lagi waktu luang karena sering dihabiskan 'tuk memikirkan skenario pembelajaran dihari-hari mendatang. Memang saat itu saya selalu jadi sorotan baik di kelas ataupun di pekarangan.
Tapi ... saya baik-baik saja. Malah ada saat-saat ketika saya tidak sabar masuk ke kelas untuk mengajarkan sesuatu yang baru, meski saya tahu hari itu adalah hari untuk rekan saya yang masuk ke kelas. Ada saatnya saya merasa hampa karena seharian libur dan tidak datang ke sekolah. Ada saatnya saya sedih ketika tahu sisa waktu yang saya punya di sekolah itu hanyalah dua minggu. Ada pula saatnya saya terharu begitu menyadari perhatian-perhatian kecil dari para siswa bertangan mungil.
Hingga pada akhirnya saya tahu ... mungkin ... saya memang benar-benar digariskan untuk menjadi seorang guru. Kepribadian introvert saya nyatanya bukanlah penghalang, malah melampaui ekspektasi yang sebelumnya saya bayangkan.
Karena … saat menjadi guru praktik pulalah saya tahu bahwa saya tidak takut lagi akan keramaian di sekolah. Saya tahu bahwa saya tidak takut lagi menjadi sorotan dan pusat perhatian di sana. Saya mampu berbicara dalam waktu yang lama tanpa kehabisan suara. Saya merasa nyaman meski saat sedang bekerja saya tidak lagi sendirian.
Saya tahu bahwa pada akhirnya … introvert dan guru bisa bersatu.
Tapi ... jika kamu masih ragu coba saja tanyakan pada para introvert yang sudah menjadi guru sungguhan.
Benar tidak bapak ibu guru sekalian? 😃
kisahnya sungguh menginspirasi.Saya seorang introvert yang juga sedang berkuliah di jurusan keguruan. Membaca cerita Anda saja saya bisa merasakan betapa mendebarkan mengajar di depan orang banyak apalagi murid sungguhan. Namu, bagi saya itu adalah sebuah tantangan yang perlu ditaklukan.Terima kasih telah berbagi cerita Anda.
BalasHapusBetul juga, semua yang diceritakan diatas. Kebetulan saya sudah jd guru sungguhan yg baru bertahan 3 tahun. Awalnya gak mau banget jd guru karena saya tdk suka jd pusat perhatian. Tapi takdir menuntun saya kearah sini. Cari kerja sana sini susah, begitu melamar jd guru langsung diterima. Menurut saya yg tersulit menjadi guru introvert sekaligus melankolis seperti saya, ketika ada siswa-siswa yg luar biasa dengan kenakalan di satu kelas, saya tidak mampu untuk memarahi mereka, saking kesal dan kecewa semuanya itu terlampiaskan melalui air mata. Dan yang paling sulit, adalah ketika mulai merasa kesal dan kecewa saya tidak dpt menahan dan menyembunyikan air mata, dengan mulut terdiam tanpa kata. Saya menangis bukan karena kesal pada siswa tp saya kesal pada diri saya sendiri..
BalasHapusSy jg seorang introvert yg kecemplung jadi dosen....pada awalnya merasa ngga pede dan luar biasa awkward..tp makin kesini kok mlh makin menikmati dan suka..jd sekarang job favorit sy adalah mengajar..hehe..introvert pengajar
BalasHapusSaya saat ini mebgambil jurusan keguruan,ini sangat bertolak belakang banget dg saya yg seorang introvert yg hanya suka kerja praktik berdiam di tempat,tidak menjadi sorotan banyak orang tp menghasilkan
BalasHapusBagaimana caranya untuk mengubah kebiasaan saya?